Suku Bunga The Fed Bisa Sampai 6%, BI Gak Ngeri?

Jajaran Dewan Gubernur Bank Indonesia. (CNBC Indonesia/Anisa Sopiah)

Rilis data inflasi dan tenaga kerja Amerika Serikat (AS) membuat ekspektasi kenaikan suku bunga berubah seketika. Sebelumnya puncak suku bunga bank sentral AS (The Fed) tahun ini diprediksi 4,75% – 5%, tetapi pasar kini melihat lebih tinggi lagi.

Riak-riak di pasar finansial global sudah mulai terlihat akibat suku bunga The Fed (Federal Funds Rate/FFR) diperkirakan akan mencapai 5,25% – 5% pada Juni nanti. Sebelumnya ketua The Fed, Jerome Powell mengatakan proses disfinlasi sudah dimulai di Amerika Serikat.

Artinya, pertumbuhan inflasi sudah mulai melandai.

Namun, melihat penurunan inflasi yang tidak sebesar ekspektasi, serta data tenaga kerja yang kuat, pasar kini menanti apakah ada perubahan lagi dari pernyataan Powell nantinya. Powell sebelumnya juga secara gamblang menyatakan suku bunga bisa naik lebih tinggi dari proyeksi jika inflasi kembali naik.

Nah, pernyataan itu jika semakin dipertegas tentunya bisa memicu “gempa” di pasar finansial dunia.

CEO JPMorgan, Jamie Dimon pada Januari lalu bahkan menyatakan The Fed mungkin perlu menaikkan FFR hingga ke level 6% untuk melawan inflasi

“Inflasi tidak akan turun seperti yang diharapkan orang,” katanya. “Tapi yang pasti akan turun sedikit.”

Jika kondisinya masih urung membaik, Dimon berpendapatan The Fed dapat mulai menaikkan suku bunga pada kuartal keempat dan menyebut kenaikan suku bunga acuan tersebut “mungkin saja 6%.”

Suku bunga 6% akan menjadi yang tertinggi sejak 2021. Jika itu terjadi, pasar finansial global akan mengalami “Gempa”.

Aliran modal bisa kembali keluar dari negara emerging market seperti Indonesia menuju Amerika Serikat. Dolar AS menjadi perkasa lagi dan nilai tukar mata uang lainnya berisiko kembali terpuruk.

Saat rupiah terpuruk dampaknya akan terasa ke sektor riil. Inflasi tentunya bisa kembali meningkat yang bakal mencekik masyarakat, daya beli menurun dan pertumbuhan ekonomi melambat.

Dalam kondisi tersebut Bank Indonesia (BI) berpeluang kembali menaikkan suku bunga, yang biasa membuat pelambatan ekonomi semakin dalam.

Seperti diketahui suku bunga BI saat ini sebesar 5,75%, dan Gubernur Perry Warjiyo menyatakan sudah memadai untuk meredam inflasi. Artinya suku bunga tidak akan dinaikkan lagi.

Dalam kondisi saat ini, rasanya kecil kemungkinan suku bunga BI akan lebih rendah dari The Fed. Sehingga jika The Fed menaikkan suku bunga lebih dari 5,25%, tekanan bagi BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar dengan menaikkan suku bunga semakin besar.

Belajar Dari Thailand

Baht Thailand di awal tahun ini menunjukkan kinerja yang impresif melawan dolar AS, padahal suku bunganya jauh lebih rendah.

Suku bunga bank sentral Thailand hanya 1,25% jauh di bawah bank sentral AS (The Fed) 4,5% – 4,75%.

Lazimnya suku bunga di negara berkembang lebih tinggi ketimbang negara maju, apalagi jika dibandingkan dengan Amerika Serikat. Hal ini bertujuan untuk menarik investasi dengan memberikan imbal hasil yang lebih tinggi.

Dengan aliran modal yang masuk, nilai tukar mata uang menjadi lebih stabil.

Tetapi Thailand berbeda, stabilitas nilai tukarnya mengandalkan devisa hasil ekspor (DHE).

Thailand merupakan rajanya industri pariwisata di kawasan ASEAN. Pada 2019, sebelum pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) melanda, pendapatan dari industri pariwisata tercatat sebesar US$ 59,8 miliar, dan berkontribusi sebesar 11% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Tercatat sebanyak hampir 40 juta wisatawan manca negara yang berkunjung ke Thailand pada 2019. Tidak hanya berkontribusi besar ke perekonomian, pasokan valuta asing Thailand pun menjadi melimpah.

Devisa hasil ekspor (DHE) jasa pariwisata tersebut ditahan lama di dalam negeri.

Bank sentral Thailand beberapa kali melakukan revisi terhadap rezim devisa mereka. Sebelumnya Negara Gajah Putih juga menerapkan rezim bebas mereka kepada ekspor barang maupun jasa

Namun pada 2006, Thailand sudah mewajibkan DHE direpatriasi ke baht, dengan batasan US$ 200.000. Pada Maret 2021, bank sentral Thailand menaikkan batas DHE yang tidak harus direpatriasi menjadi US$ 1 juta. Di atas US$ 1 juta maka DHE harus direpatriasi ke baht.

Repatriasi dilakukan paling terlambat 360 hari setelah mendapat pembayaran. DHE juga diwajibkan mengendap dan baru bisa ditransaksikan lagi setelah 360 hari.

Dengan kebijakan tersebut, pasokan valuta asing menjadi cukup besar. Hal ini tercermin dari cadangan devisa Thailand yang nilainya mencapai US$ 225,5 miliar pada Januari 2022, naik tajam dari bulan sebelumnya US$ 216,6 miliar.

Melihat hal tersebut, kesuksesan BI dan pemerintah menarik DHE yang parkir di luar negeri bisa menjadi kunci stabilitas rupiah, tanpa perlu menaikkan suku bunga dengan sangat tinggi.

Seperti diketahui neraca perdagangan Indonesia tidak pernah mengenal defisit dalam 33 bulan beruntun. Selama periode tersebut total surplus tercatat sebesar US$ 113.2 miliar, jika dikonversi ke rupiah dengan kurs tengah BI Rabu kemarin Rp 15.194/US$, maka nilainya mencapai Rp 1.719 triliun.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*