Ngeri! Ada ‘Sisi Gelap’ Dibalik Mesranya Arab Saudi-China

This handout picture released by the Saudi Press Agency SPA shows Saudi Crown Prince Mohammed bin Salman (R) shaking hands with Chinese President Xi Jinping during a GCC-China Summit in the Saudi capital Riyadh, on December 9, 2022. (Photo by SPA / AFP) / === RESTRICTED TO EDITORIAL USE - MANDATORY CREDIT

China semakin memperkuat posisinya di mata internasional dalam beberapa tahun terakhir. Hubungan yang dekat dijalin dengan berbagai negara, termasuk di Timur Tengah.

Awal April lalu, China untuk pertama kalinya menyelesaikan transaksi pembelian liquefied natural gas (LNG) menggunakan mata uang yuan dengan Uni Emirat Arab.

Kedekatan juga dijalin dengan https://lahan-duit.site/ Arab Saudi yang mempunyai proyek-proyek ambisius. Putra Mahkota dan pemimpin de facto, Mohammed bin Salman (MBS) memiliki visi memodernisasi Arab Saudi dan lepas dari ketergantungan minyak mentah.

Salah satu proyek yang China terlibat di dalamnya yakni kota di tengah gurun yang diberi nama NEOM, dibangun di wilayah seluas 26.500 kilometer persegi.

NEOM disebut akan mewujudkan semua yang dulu hanya imajenasi. Akan ada pantai yang menyala dalam gelap, kepala pelayan robot, hingga taksi terbang.

Kota ini akan menjadi rumah untuk pengembangan sains dan teknologi masa depan di 16 sektor yaitu energi, air, mobilitas, biotek, makanan, manufaktur, media, hiburan, teknologi dan digital, pariwisata, olahraga, desain kan konstruksi, pelayanan, kesehatan, pendidikan dan kualitas hidup.

Namun, dibalik kemegahan dan teknologi futuristik yang digemborkan tersebut ada beberapa “sisi gelap” terutama terkait dengan teknologi. Seperti diketahui MBS kini semakin dekat dengan Presiden China Xi Jinping. MBS bahkan sudah sepakat dengan Xi, China akan memberikan teknologi pengawasan yang powerful.

Marwa Fatafta, policy manager di organisasi advokat hak digital di Berlin, memperingatkan visi futuristik dan mewah NEOM tersebut menutupi sisi proyek yang lebih gelap, sejalan dengan naluri otoriter MBS.

“Kemampuan kota pintar (NEOM) bukan hanya daya tarik futuristik, tetapi dapat digunakan sebagai alat untuk pengawasan invasif oleh dinas keamanan negara,” kata Fatatfa, melansir Business Insider, Minggu (23/4/2023).

China saat ini sudah menyediakan teknologi pengawasan untuk menciptakan apa yang disbuet “kota aman” di Mesir dan Serbia. MBS dikatakan ini menerapkan hal tersebut di NEOM dengan skala yang lebih besar.

James Shires, peneliti dari London’s Chatham House mengatakan salah satu bentuk teknologi tersebut adalah kamera pengintai yang terhubung dengan teknologi pengenalan wajah, dan dapat digunakan untuk melacak pergerakan seseorang di masa lalu hingga real time.

“Ini merupakan risiko nyata terhadap privasi orang, terutama tergantung pada bagaimana data dikumpulkan dan disimpan,” kata Shires.

Teknologi dari China tersebut mampu menghubungkan rekaman kamera pengintai ke kumpulan data lain tentang seseorang, termasuk informasi biometrik.

NEOM juga memiliki “sisi gelap” lainnya. Dalam laporan BBC, sejak konstruksi proyek NEOM dimulai, warga lokal dari suku Huwaitat ‘dihabisi’.

Tercatat ada 20.000 orang dari suku Huwaitat dipindahkan paksa untuk memulai pembangunan kota yang memiliki tujuan “mengutamakan manusia” itu. Mereka disebut telah ditangkap, dilecehkan, dan diculik oleh pihak keamanan setelah memprotes proyek pembangunan.Kasus paling fenomenal menimpa kepala suku Huwaitat, Abdul Rahum Al-Huwaiti. Mengutip Al Jazeera, Abdul sebelumnya mewakili sukunya dan sangat vokal menyuarakan kritik terhadap pihak kerajaan di akun Youtube sejak April 2020.

Namun tak lama setelah itu, tulis BBC, kediaman Abdul Rahim disantroni dan diawasi pihak keamanan. Hingga akhirnya dia ditembak mati di kediamannya tanpa alasan jelas.

Kepolisian Saudi mengklaim kematiannya itu disebabkan karena upaya berontak yang dilakukan Al-Huwaiti, yang ingin menembak lebih dulu. Namun, istrinya menolak pernyataan polisi.

Tak hanya itu, mengutip laporan lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) Arab Saudi, ALQST, ada tiga orang lain yang dibantai oleh pihak kerajaan. Mereka adalah Shadli Al-Huwaiti, Ibrahim Al-Huwaiti, dan Ataullah Al-Huwaiti.

Seluruhnya tewas di tangan keamanan. Dalam laporan lembaga itu, mereka dijatuhi hukuman mati.

Bahkan sepanjang 2022, ALQST mencatat sudah ada 122 orang yang dieksekusi karena mengganggu jalannya proyek ini. Dan, ini hanya gunung es sebab di masih ada penindasan selain hukuman mati.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*